Tentu kita
masih ingat lagu berjudul “Kolam Susu” yang diciptakan grup band Koes Plus
tahun 1970an. Lagu itu mengisahkan betapa subur dan indahnya Indonesia. Alamnya
kaya, indah, bersahabat, memberikan kenyamanan dan ketentraman kepada
rakyatnya.
Memang demikianlah kenyataan yang terjadi di Indonesia
saat itu. Sungai-sungai mengalir lancar
di seluruh pelosok negeri, seperti nadi yang mengalirkan denyut kehidupan bagi
penduduk sekitarnya. Anak-anak bersenda gurau dan tertawa riang sambil bermain
dan mandi di sungai berair sejuk dan jernih.
Seperti
yang dikatakan dalam syair lagu di atas, laut yang membentang di sepanjang
wilayah Indonesia adalah lautan yang indah dan mempesona, keelokan itu
digambarkan sebagai kolam susu, bukan
lautan. Ikan dan udang tersedia berlimpah di sana. Ikan dan udang datang
menghampirimu. Tongkat dan kayu pun, jika ditancapkan ke tanah bisa tumbuh
subur menjadi tanaman.
Tapi
apa yang terjadi sekarang? Lautan kolam susu telah berubah menjadi lautan sampah. Terutama di kota-kota besar, umumnya
sepanjang pantai dan lautnya terhampar pemandangan memilukan, sampah beraneka
ragam berjejal dimana-mana, bau busuk menyengat hidung. Sungai tak lagi mengalirkan air jernih, tapi
telah berganti dengan sampai, air jorok dan berbau busuk.
Ikan datang menghampiri? Jangan diharap lagi
bisa tersua. Setelah berjuang antara hidup dan mati menghadang ombak dan
gelombang ganas sekali pun, belum tentu nelayan kita bisa membawa ikan pulang
yang cukup untuk bekal hidup anak dan istri mereka.
Dulu
tak ada badai dan topan yang datang menghampiri. Kini badai dan topan seperti
sudah menjadi agenda rutin sehari-hari. Fenomena baru yang terjadi saat ini,
dikala matahari sedang bersinar cerah, tiba-tiba berubah kelam. Badai dan topan
tiba-tiba datang menerjang, disertai hujan deras seperti ditumpahkan dengan
amarah dari lagit. Lalu bencana longsor, banjir, datang melanda seperti
menghantui.
Petani
juga makin mengeluh, mereka makin dihimpit kemiskinan. Lahan yang mereka tanam
makin tak subur, keras dan bantat. Sedangkan luas tanah yang mereka jadikan
sawah dan ladang juga makin sempit karena telah ditimbun untuk dijadikan rumah
dan berbagai bangunan.
Memang
itulah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Apa yang ditangisi dan dikuatirkan
para ilmuwan dan pemerhati lingkungan beberapa dekade lalu telah menjadi
kenyataan di depan mata. Perubahan iklim (climate change) yang dulu tak banyak orang yang
mempercayainya, telah menjadi kenyataan hari ini. Dulu di negara kita jarang,
bahkan hampir tak ada topan dan badai, kini telah menjadi agenda rutin hampir
setiap hari. Dulu musim hujan dan musim panas terjadi seimbang sepanjang tahun,
kini menjadi tak menentu.
Kini, musim kemarau
terjadi berkepanjangan sehingga terjadi kekeringan ekstrim di berbagai wilayah
yang disusul dengan musibah kebakaran, kabut asap, gagal panen dan kelaparan
(kekurangan pangan). Sebaliknya musim hujan juga menjadi ekstrim dan luar
biasa. Banjir, longsor adalah derita selanjutnya yang harus ditanggung bersama.
Kini
tentu kita telah mengalami sendiri bahwa bencana akibat kerusakan lingkungan
tak lagi sekedar wacana, tetapi telah berada dalam kehidupan kita sehari hari.
Ada
banyak hal yang dapat kita lakukan untuk melindungi alam kita,diantaranya
adalah:
Hentikan penebangan hutan secara liar,perbanyak
menanam tanaman hijau,Kurangi polusi udara dan Buanglah sampah pada tempatnya,Usahakan
untuk memilah sampah, paling tidak sediakan tempat khusus untuk membuang sampah
kertas agar dapat didaur ulang. Mendaur ulang 1 ton kertas berarti
menyelamatkan sekitar 17 batang pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar