Jumat, 19 Juli 2013

Cintai Lingkungan Kita

Tentu kita masih ingat lagu berjudul “Kolam Susu” yang diciptakan grup band Koes Plus tahun 1970an. Lagu itu mengisahkan betapa subur dan indahnya Indonesia. Alamnya kaya, indah, bersahabat, memberikan kenyamanan dan ketentraman kepada rakyatnya.
Memang demikianlah kenyataan yang terjadi di Indonesia saat itu. Sungai-sungai  mengalir lancar di seluruh pelosok negeri, seperti nadi yang mengalirkan denyut kehidupan bagi penduduk sekitarnya. Anak-anak bersenda gurau dan tertawa riang sambil bermain dan mandi di sungai berair sejuk dan jernih. 
            Seperti yang dikatakan dalam syair lagu di atas, laut yang membentang di sepanjang wilayah Indonesia adalah lautan yang indah dan mempesona, keelokan itu digambarkan  sebagai kolam susu, bukan lautan. Ikan dan udang tersedia berlimpah di sana. Ikan dan udang datang menghampirimu. Tongkat dan kayu pun, jika ditancapkan ke tanah bisa tumbuh subur menjadi tanaman.
            Tapi apa yang terjadi sekarang? Lautan kolam susu telah berubah menjadi lautan sampah.  Terutama di kota-kota besar, umumnya sepanjang pantai dan lautnya terhampar pemandangan memilukan, sampah beraneka ragam berjejal dimana-mana, bau busuk menyengat hidung.  Sungai tak lagi mengalirkan air jernih, tapi telah berganti dengan sampai, air jorok dan berbau busuk.
             Ikan datang menghampiri? Jangan diharap lagi bisa tersua. Setelah berjuang antara hidup dan mati menghadang ombak dan gelombang ganas sekali pun, belum tentu nelayan kita bisa membawa ikan pulang yang cukup untuk bekal hidup anak dan istri mereka.
            Dulu tak ada badai dan topan yang datang menghampiri. Kini badai dan topan seperti sudah menjadi agenda rutin sehari-hari. Fenomena baru yang terjadi saat ini, dikala matahari sedang bersinar cerah, tiba-tiba berubah kelam. Badai dan topan tiba-tiba datang menerjang, disertai hujan deras seperti ditumpahkan dengan amarah dari lagit. Lalu bencana longsor, banjir, datang melanda seperti menghantui.
            Petani juga makin mengeluh, mereka makin dihimpit kemiskinan. Lahan yang mereka tanam makin tak subur, keras dan bantat. Sedangkan luas tanah yang mereka jadikan sawah dan ladang juga makin sempit karena telah ditimbun untuk dijadikan rumah dan berbagai bangunan.
            Memang itulah kenyataan yang kita hadapi hari ini. Apa yang ditangisi dan dikuatirkan para ilmuwan dan pemerhati lingkungan beberapa dekade lalu telah menjadi kenyataan di depan mata. Perubahan iklim (climate change)  yang dulu tak banyak orang yang mempercayainya, telah menjadi kenyataan hari ini. Dulu di negara kita jarang, bahkan hampir tak ada topan dan badai, kini telah menjadi agenda rutin hampir setiap hari. Dulu musim hujan dan musim panas terjadi seimbang sepanjang tahun, kini menjadi tak menentu.
Kini, musim kemarau terjadi berkepanjangan sehingga terjadi kekeringan ekstrim di berbagai wilayah yang disusul dengan musibah kebakaran, kabut asap, gagal panen dan kelaparan (kekurangan pangan). Sebaliknya musim hujan juga menjadi ekstrim dan luar biasa. Banjir, longsor adalah derita selanjutnya yang harus ditanggung bersama.
            Kini tentu kita telah mengalami sendiri bahwa bencana akibat kerusakan lingkungan tak lagi sekedar wacana, tetapi telah berada dalam kehidupan kita sehari hari.
Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk melindungi alam kita,diantaranya adalah:

Hentikan penebangan hutan secara liar,perbanyak menanam tanaman hijau,Kurangi polusi udara dan Buanglah sampah pada tempatnya,Usahakan untuk memilah sampah, paling tidak sediakan tempat khusus untuk membuang sampah kertas agar dapat didaur ulang. Mendaur ulang 1 ton kertas berarti menyelamatkan sekitar 17 batang pohon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar