Jumat, 19 Juli 2013

MODEL DINAMIS PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENGURANGI BEBAN PENUMPUKAN

Abstrak
Tingginya volume sampah yang dihasilkan baik oleh industri maupun masyarakat merupakan
permasalahan umum yang dijumpai di hampir semua kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Disamping dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, permasalahan tingginya volume sampah juga dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk. Permasalahan ini semakin dipersulit dengan terbatasnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang tersedia. Oleh sebab itu, Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengelolaan sampah untuk mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan menggunakan simulasi berdasarkan pendekatan sistem dinamis. Hasil simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan Cost-Benefit ratio (B/C), sedangkan untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi), maka dilakukan pula proses pembobotan dengan Analytic Hierarchy Process (AHP). Sebagai studi kasus dipilih TPA Bantar Gebang yang berfungsi untuk menampung sampah yang dihasilkan oleh DKI Jakarta. Dengan menggunakan simulasi didapatkan proyeksi sampah yang dihasilkan dan akan dibuang ke TPA Bantar Gebang untuk berbagai skenario hingga tahun 2025. Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun dengan Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Benefit-Cost ratio (B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah di DKI dilakukan secara bertahap, pertama adalah dengan pengomposan dan kemudian dengan incenerator.

1.               PENDAHULUAN

Tingkat pertumbuhan penduduk sangat berpengaruh pada volume sampah yang merupakan
hasil dari konsumsi penduduk. Sebagai kota metropolitan, Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan
sampah sejumlah 18500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25700 m3 per hari.
Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi
Borobudur (volume Candi Borobudur = 55000 m3). Luas lahan yang tersedia adalah 108 ha, TPA
Bantar Gebang Bekasi harus menampung 6000 ton per hari (setara dengan 25650 m3). Sampah
6000 ton tersebut yang dapat di recycle atau diolah kembali hanya sebesar 1000 ton per hari dan
dari 1000 ton tersebut hanya 450 ton saja yang dapat di olah kembali (Walhi, 2006).

Berkaitan dengan permasalahan sampah di DKI Jakarta, maka Pemerintah daerah (Pemda)
DKI Jakarta perlu mencari alternatif pengelolaan sampah. Alternatif tersebut diharapkan dapat
mempermudah Pemda DKI Jakarta untuk memperoleh kebijakan pengelolaan sampah yang
bukan hanya meminimalkan penumpukan sampah tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek
terkait, seperti sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh kebijakan yang sebaiknya diambil oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengelolaan
sampah dengan menggunakan simulasi sistem dinamis (dynamic system simulation). Sebagai
studi kasus dipilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan dalam pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang, sehingga tidak terjadi penumpukan sampah yang akan berakibat meningkatnya polusi air, tanah dan udara.

2.      METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan simulasi berdasarkan sistem dinamis dan Analytic
Hierarchy Process (AHP) untuk menganalisis alternatif pengelolaan sampah yang dapat
mengurangi tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang. Sistem dinamis merupakan
suatu cara berpikir tentang sistem sebagai jaringan yang saling behubungan yang mempengaruhi
sejumlah komponen yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Simulasi merupakan prosedur
kuantitatif yang menggambarkan suatu proses dengan mengembangkan suatu model dan
menerapkan serangkaian uji coba terencana untuk memprediksikan tingkah laku proses sepanjang waktu, sehingga analisis dapat dilakukan untuk sistem yang baru tanpa harus membangunnya atau merubah sistem yang telah ada, serta tidak perlu mengganggu operasi dari sistem tersebut. Pada umumnya simulasi digunakan untuk model-model dinamis yang melibatkan periode waktu ganda (Randers, 2000). Simulasi untuk berbagai alternatif pengelolaan sampah ini akan dilakukan dengan berbagai skenario untuk melihat proyeksi penurunan tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang hingga tahun 2025. Hasil simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan Break Event Point (BEP), Cost-Benefit ratio (B/C), dan Return Investment (ROI).


3.      HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1  Model Pengolahan Sampah

Model ini dibuat berdasarkan empat alternatif pengolahan sampah, yaitu: recycle (daur ulang), landfill, pengomposan dan incenerator (pembakaran). Diagram ini meliputi unsur (sistem proses descriptors) dan panah, yang dikenal sebagai mata rantai causal, yang menghubungkan berbagai unsur bersama-sama. Hubungan causal antara satu unsur dengan unsur lain adalah positif jika perubahan ini bersifat bersamaan, artinya jika A meningkat maka menyebabkan peningkatan B, atau sebaliknya, jika terjadi penurunan A maka akan menyebabkan penurunan B pula. Hubungan ini disebut same direction (s). Sebaliknya jika hubungan causal antara satu unsur dengan unsur lain adalah negatif, maka jika terjadi peningkatan terhadap unsur A akan menyebabkan penurunan unsur B. Hubungan ini disebut juga dengan opposite direction (o) (Deaton, 2000).
Pada penelitian ini faktor-faktor yang dipilih lebih dititik beratkan pada metode pengolahan
sampah. Peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan jumlah sampah akan
mempengaruhi jumlah sampah yang harus dipilah agar proses pengolahan lebih mudah, baik
berdasarkan jenis sampah (sampah organik dan anorganik) maupun manfaatnya (untuk recycle,
kompos, dan sebagainya ). Sebagai alternatif pengolahan, recycle memanfaatkan sampah anorganik, dan proses ini sebenarnya hanya menunda atau mencegah material sampah anorganik menumpuk di TPA. Sedangkan kompos memanfaatkan sampah organik dan mampu mereduki sampah sebesar 62,5% dari total sampah (jumlah sampah anorganik dengan organik). Pembakaran atau incenerator dapat mereduksi 84% dari total sampah, dan abu hasil pembakaran dapat dimanfaatkan untuk pembuatan batako. Proses-proses ini dapat menekan laju timbunan sampah di TPA Bantar Gebang.


Berdasarkan causal loop di atas, maka kemudian model dibangun dari empat unsur
fundamental building blocks, seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan Gambar 2 memperlihatkan
ilustrasi untuk proses pertumbuhan sampah.





Ilustrasi pada Gambar 2 menggambarkan akumulasi dari jumlah penduduk yang dikalikan
dengan sampah per orang akan mempengaruhi pertumbuhan sampah yang terus berakumulasi
pada pembuangan di sumber sampah tersebut yang selanjutnya akan dikumpulkan kembali untuk
masuk pada proses selanjutnya. Pengembangan ilustrasi tersebut dengan tetap berdasarkan pada causal loop diagram yang ada, maka dibuatlah model pengolahan sampah seperti ditunjukkan pada Gambar 3, 4, 5 dan 6 berikut.




1.      dengan Pengolahan Sampah Landfill

Pada Landfill sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan
membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah dan sederhana, tetapi
menimbulkan beberapa risiko antara lain: berjangkitnya penyakit menular, menyebabkan
pencemaran (terutama bau dan kotoran) (Kholil, 2006).


Gambar 3. Model pengolahan sampah dengan landfill

Gambar 4. Model pengolahan sampah dengan recycle


2.      Pengolahan Sampah dengan Recycle

Merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan,
pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.
Proses recycle dipengaruhi oleh faktor fraksional (persentase) kemampuan memilah, waktu
pengiriman dan waktu pengolahan. Sifat dari recycle adalah menunda penumpukan sampah
yang sifatnya anorganik, maka lambat laun hasil atau produknya pun akan menjadi sampah
kembali. Sampah anorganik yang berjumlah 44%, jika recycle sampah sebesar 25% dari
jumlah sampah yang ada ditambah dengan peran pemulung yang melakukan pengangkutan
untuk recycle secara informal sebesar 5 ton/bulan per orang, dan diasumsikan delay 6 bulan,
maka proses recycle mampu menekan masuknya sampah yang dihasilkan masyarakat.
Sebagai contoh proyeksi pada tahun 2025, sampah yang dihasilkan sebesar 83528 ton/bulan
atau 1002348 ton pada tahun tersebut, hanya 636877 ton yang masuk ke TPA Bantar Gebang
dengan adanya recycle.              

3.      Pengolahan Sampah dengan Kompos

Pengolahan sampah dengan pengomposan merupakan cara penumpukan sampah pada lubang
kecil dalam jangka waktu tertentu untuk menghasilkan pupuk yang alamiah atau proses
dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap buangan organik yang
biodegradable (Subandi, 2006). Pemanfaatannya dapat membantu DKI Jakarta yang
mempunyai program hutan kota. Selain itu, lokasi tanam yang semakin berkurang di rumah-rumah masyarakat membutuhkan media tanam lain sebagai penyubur tanaman. Hasil
pengomposan dapat digunakan sebagai unsur hara untuk penanaman dalam pot. Kompos
yang terbuat dari sampah organik dapat pula berfungsi untuk mereduksi timbunan sampah.
Mengingat 55% sampah penduduk DKI Jakarta adalah sampah organik, maka pembuatan
kompos akan mengurangi suplai sampah ke TPA Bantar Gebang. Sama halnya dengan
recycle, pengomposan juga membutuhkan pemilahan. Perbedaannya adalah hasil ataupun
produk pengomposan ini tidak kembali menjadi sampah. Komposisi sampah penduduk DKI
Jakarta rata-rata menghasilkan 55,5% sampah organik dari total sampah yang dihasilkan
(26264 m³/tahun). Jika sampah organik tersebut mampu diolah seluruhnya, maka akan dapat menurunkan jumlah sampah di TPA Bantar Gebang. Sebagai contoh pada tahun 2025 diproyeksikan akan terdapat 5 ton sampah, turun sebesar 807412 ton jika dibandingkan dengan
pengolahan sampah dengan landfill (pada tahun 2025 sampah di TPA sebesar 795088 ton).
Artinya, pengolahan sampah menjadi kompos ini mampu mereduksi sampah di TPA sebesar
21,56%.


Gambar 5. Model pengolahan sampah dengan kompos
4.      Pengolahan Sampah dengan Incenerator

Cara ini mampu mengurangi timbunan sampah di TPA Bantar Gebang sebesar 62,6%.
Metode ini dapat dilakukan hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan
jauh dari pemukiman untuk menghindari pencemaran (asap dan bau) dan kebakaran.
Pembakaran sampah menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya,
yang mampu memperpanjang umur zona landfill dari dua tahun menjadi 4,5 tahun. Pada
model yang ditunjukan pada Gambar 6, terlihat bahwa incenerasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti waktu pengiriman dan fraksional atau persentase pembakaran. Kecepatan
pengolahan sampah ini akan mengurangi beban penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang.
Jika sampah yang diolah semakin banyak maka akan mengurangi sampah yang akan dibuang
ke TPA Bantar Gebang, sehingga semakin rendah suplai sampah ke TPA dan semakin lama
pula zona yang akan dipakai sebagai wadah landfill. Berbeda dengan recycle dan pengomposan yang hanya bisa dilakukan terhadap sampah anorganik atau organik saja, incenerator dapat dilakukan terhadap kedua jenis sampah tersebut, kecuali anorganik yang bersifat logam dan kaca, karena itu pula penurunan jumlah sampah di TPA dengan incinerator cukup signifikan.





                                                                                                                   
Gambar 6. Model pengolahan sampah dengan incinerator
Kondisi normal pengolahan sampah dengan recycle memerlukan waktu pengangkutan 2
minggu sekali (0,5 bulan), waktu daur ulang satu minggu sekali (0,25 bulan) dengan asumsi
sampah yang dapat diolah 100% dari sampah anorganik yang berjumlah 44% penumpukan
sampah dapat dikurangi sebesar 20%. Pada skenario baru, waktu suplai di percepat yaitu satu
minggu sekali atau 0,25 bulan, sedangkan waktu daur ulang dan fraksional daur ulang
diasumsikan tetap. Skenario baru recycle mampu mengurangi penumpukan sampah sebesar
30,4% atau 10,4% lebih besar dari kondisi normal. Begitu pula dengan pengolahan sampah
lainnya. Besar variabel antara kondisi normal dan skenario baru seperti terlihat pada Tabel 2,
menghasilkan persentase pengurangan timbunan sampah di TPA Bantar Gebang yang berbeda.
Perbedaan ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7.
        
                    
3.2  Analisis Sensitivitas Hasil Studi AHP
Setelah disusun hirarki proses pengolahan sampah berdasarkan empat aspek (sosial,
ekonomi, lingkungan dan teknologi) dengan masing-masing aspek terdiri dari empat alternative (recycle, kompos, landfill dan incenerator) seperti terlihat pada Gambar 8, disusunlah kuesioner untuk mengetahui sudut pandang masyarakat terhadap pengolahan sampah. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan metode AHP untuk menentukan skala prioritas pengolahan sampah menurut masyarakat dilihat dari empat aspek tersebut. Hasil pembobotan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak expert choice, memperlihatkan bahwa aspek sosial mempunyai preferensi yang paling tinggi (53,8%), diikuti dengan aspek lingkungan (26%), ekonomi (14,3%) dan teknologi (5,9%). Adapun skala prioritas alternatif pengolahan sampah yang tertinggi adalah pengomposan (42,5%), recycle (30,2%), incenerator (21,5%) dan landfill (5,8%).
 Hasil anĂ¡lisis sensitivitas memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan pada alternative pengolahan sampah berdasarkan pendapat masyarakat seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Dengan kata lain, masyarakat tetap berpendapat bahwa pengomposan merupakan alternatif utama yang sebaiknya dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengolahan sampah. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap empat aspek, yaitu sosial, lingkungan, ekonomi dan teknologi. Jika diasumsikan di masa depan terjadi peningkatan preferensi terhadap aspek social sehingga nilai bobot aspek sosial mencapai 82,8%, maka alternatif pengomposan merupakan prioritas utama yang sebaiknya diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta dengan nilai bobot 41,1%. Hal ini berarti bahwa jika kondisi yang dihadapi mengharuskan penentuan teknologi pengolahan sampah dititik beratkan kepada membuka kesempatan kerja, meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi, menciptakan peluang berusaha bagi masyarakat, membuka peluang kepada sektor informal dan formal untuk terlibat, serta dapat meningkatkan peran serta masyarakat, maka pengomposan adalah prioritas utama untuk diterapkan di DKI Jakarta.
       

Jika diasumsikan terjadi peningkatan preferensi aspek lingkungan sedemikian rupa sehingga
secara kuantitif nilai bobotnya mencapai 52,3% dari preferensi awal (26,0%), ternyata
pengomposan tetap memiliki nilai bobot tertinggi yaitu 42,5%. Hal ini menunjukkan, jika pada
suatu saat pertimbangan terpenting dalam menentukan jenis pengolahan sampah di Jakarta adalah aspek lingkungan, yang berarti pula aspek sosial, ekonomi, dan teknis relatif tidak menjadi masalah, maka pengomposan merupakan teknologi yang menjadi prioritas utama untuk
diterapkan. Demikian pula pada analisis sensitifitas terhadap aspek teknologi dan ekonomi,
analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap aspek teknologi menunjukkan bahwa jika nilai bobot aspek tersebut meningkat dari 5,9% menjadi 50%, maka nilai bobot pengomposan akan mencapai 42% dan merupakan prioritas utama. Kondisi seperti ini mengindikasikan aspek teknis menjadi pertimbangan yang paling utama dalam menentukan teknologi.
Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap aspek ekonomi menunjukkan bahwa jika nilai
bobot aspek ekonomi meningkat dari 14,3% hingga mencapai 50%, maka nilai bobot pengomposan akan mencapai 46,4% dan merupakan prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan ekonomi sangat kuat mendominasi keputusan penentuan pengolahan sampah. Meningkatnya preferensi aspek ekonomi akan meningkatkan nilai bobot pengomposan. Jika pertimbangan investasi yang rendah, biaya operasional yang rendah, dan kemungkinan
menghasilkan PAD menjadi titik berat penentuan teknologi pengolahan sampah di DKI Jakarta,
maka prioritas utama alternatif pengolahan sampah jatuh pada pengomposan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa skala prioritas penentuan pengolahan sampah di Jakarta relatif tidak
sensitif terhadap peningkatan preferensi aspek ekonomi dapat dikatakan bahwa skala prioritas penentuan pengolahan sampah di Jakarta relatif tidak sensitif terhadap peningkatan preferensi aspek ekonomi.

3.3  Cost to Profit

                       

Dalam tabel ini memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan untuk pengomposan, recycle, dan waste to energy. Secara keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu ton kompos adalah sebesar Rp 355.500, sedangkan harga kompos Rp 500/kg. Dalam hal ini, kondisi Break Event Point (BEP) dapat dicapai jika penjualannya mencapai 711 ton. Sedangkan dilihat dari sudut Benefit-Cost ratio (B/C) yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya operasi adalah sebesar 1,41%, artinya dengan biaya operasi Rp 355.500 akan mendapatkan keuntungan 1,41 kalinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengomposan sangat layak dilaksanakan.
Sedangkan ditinjau dari Return of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara
keuntungan dengan biaya operasi, didapatkan nilai ROI sebesar 0,406, artinya untuk setiap Rp.100 yang dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 0,406. Jika diasumsikan 55% atau 330 ton (55% x 6000 ton) sampah penduduk DKI Jakarta dijadikan kompos, maka akan didapat
keuntungan sebesar Rp 867.000 dalam sehari. Pemda DKI Jakarta bukan hanya dapat mereduksi
timbunan sampah tetapi dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk sampah organik, maka alternatifnya adalah mengolah kembali menjadi suatu produk.
Di dalam table ini juga memperlihatkan bahwa Benefit-Cost ratio (B/C) untuk recycle mempunyai nilai lebih kecil dari 1, artinya recycle lebih baik tidak dilaksanakan karena biaya operasional lebih besar dari hasil penjualan. Selisih hasil penjualan dengan biaya operasi adalah –Rp 9.945.947 sehingga jika akan dilaksanakan harus mendapatkan subsidi sebesar Rp 10.000 yang bisa didapat dari retribusi kebersihan.
Terdapat dua alternatif untuk pengolahan sampah menjadi energi, yaitu energi yang
memanfaatkan gas methana (yang dihasilkan akibat penumpukan sampah), dan yang kedua
adalah energi yang dihasilkan dengan memanfaatkan panas dari hasil pembakaran atau
incenerator. Perhitungan kelayakan pelaksanaan waste to energy dilakukan dengan alternatif yang kedua. Hal ini dikarenakan alternatif pertama tidak memberikan dampak pada reduksi sampah di TPA dan gas methana yang dihasilkan relatif lama (± 3 tahun).
Keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu MWatt listrik adalah sebesar
Rp 433.000.000 dengan harga listrik Rp 450/kg. Satu MWatt listrik yang dihasilkan mampu
memenuhi 10.000 pelanggan dengan pemakaian rata-rata 100 Kwh per bulan dan voltase rumah
tangga 450 – 900 VA. Keuntungan yang akan didapat adalah sebesar Rp 16.000.000. Dilihat dari
Benefit-Cost ratio (B/C) yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya operasi
adalah 1,037%, artinya dengan biaya operasi sebesar Rp 433.000.000 akan didapatkan
keuntungan 1,037 kalinya. Sehingga waste to energi sangat layak dilaksanakan. Sedangkan
ditinjau dari Return of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan biaya operasi, didapatkan nilai ROI sebesar 3,687; artinya untuk setiap Rp 100 yang dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 3,687.

4.      KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun skala prioritas AHP serta
Benefit-Cost ratio (B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah DKI Jakarta dilakukan secara bertahap, pertama adalah dengan pengomposan. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan dari permasalahan yang ada (pencemaran, penolakan dari
masyarakat, dan lain sebagainya), dan pertimbangan dari setiap kriteria dari semua aspek
(terutama aspek sosial yang mempunyai preferensi terbesar dibanding dengan aspek yang lain
yaitu 53,8%), dan juga berdasarkan kelayakan investasi (B/C rasio sebesar 1,41), serta faktor
penurunan tumpukan sampah yang cukup tinggi.

Kedua adalah dengan incenerator. Pengolahan sampah dengan incenerator dapat dilakukan setelah adanya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga potensi konflik dapat diredam disamping potensi pemanfaatan yang positif baik dilihat dari kelayakan investasi dengan nilai Benefit-Cost ratio (B/C) lebih besar dari satu (1,04) maupun efektivitas penurunan timbunan sampah (66%).

Refrensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar